Aku diberi kesempatan untuk hidup di bumi ini, untuk berdiri, untuk berjalan, untuk berlari dan untuk segala yang ingin saya ciptakan untuk duniaku. Namun untuk menemukan sebuah titik untuk hidupku sendiri amatlah sulit, masa transisiku yang membuat aku selalu bergoyah pendirian, ditambah sifat cerobohku yang mendukung kekompleksan masa transisi. Sebenarnya tak bisa hanya dipandang sebelah mata saja masa transisi itu kusebut sebuah elemen yang kompleks, sebenarnya masa transisi simple didengat dari sebelah telinga. Tapi memang secara objektif dan subjektif, ini terasa sulit. Tuhan (Allah SWT) memang menciptakan kita begitu rumitnya, Dia berikan kita perasaan, panca indra, logika berfikir, hati, dan masih banyak lagi. Ini semua amatlah indah, Dia ciptakan sebegitu rumitnya, sampai mendetail, bahkan protoplasma yang berukuran mikroskopis, Dia ciptakan dengan susunan yang tak sesederhana yang kita bayangkan. Dia memang Maha Adil, Maha Pengasih, dan Indah.
Di tengah malam ini, aku tersadari bahwa kurangnya rasa syukurku kepada-Nya amat berpengaruh terhadap hidupku. Aku ingin selalu hidup dengan syukur karena begitu nikmatnya hidup yang dijalani dengan syukur, dengan ikhlas. Let it flow, semuanya dijalani tanpa mengeluh biarpun membawa beban yang teramat berat sekalipun. Kodratnya aku diberi sebuah kertas dan aku harus menuliskan alur cerita hidupku dengan sebuah pena, jemarinya adalah tubuhku dan penanya adalah hatiku. Mereka berkolaborasi menggoreskan tinta sedikit demi sedikit, dan membuatnya terlihat rapi untuk dibaca, tapi pasti jemariku merasakan lelah jika menulis terlalu lama, dan kadang tinta dari penanya juga macet tak mau mengeluarkan diri. Sama seperti ragaku dan hatiku, ketika raga dan hati tak lagi mampu bersinkronisasi dengan baik, ragaku lelah hatiku penat. Suatu hari aku ketika aku berjalan-jalan disebuah pasar pedalaman, aku ditawari oleh seorang penjual, dia tawarkan sepasang gembok dan kuncinya, "untuk apa?" kutanyakan pertanyaan tersebut kepada si penjual. "untuk menyatukan pena dan jemarimu." penjual tersebut menjawabnya dengan jawaban yang begitu manis. Aku tersenyum, inilah yang kucari, gembok dan kunci untuk menyatukan pena dan jemariku. Prinsip untuk menyatukan raga dan hatiku. Terdengar begitu manis bukan? Kupilih dari penjual itu gembok L6093, kueratkan si gembok pada jemariku dan penaku. Sepertinya mereka menyatu ketika aku tersadar mengamatinya, waktu terus berjalan belum sampai jarum jam menunjuk angka 12 kulihat si pena tingkahnya sedikit aneh, ada sesuatu yang beda, kutelusuri apa yg terjadi pada si pena. Ternyata, ada sebuah jemari lain yang pena inginkan diseberang sana , sungguh tak terduga, tak cukup puaskah penaku terhadap jemariku sendiri? tak cukup puaskah hatiku terhadap ragaku sendiri? Ketika kutanya pada pena mengapa kau inginkan jemari diseberang sana, ia menjawabnya, "jemari itu juga bawa pena, dan aku suka." Kukira si pena bohong, dan pasti bohong kalau si pena jatuh cinta. Apa yang akan dikata gembok, jika ia tahu pena jatuh cinta? Akankah gembok mengambil kunci dan membuka ikatan kuatnya , ataukah gembok melempar jauh kunci itu dari si pena. Yang menentukan adalah si jemariku, dan baru saja jemariku membisikan kepadaku, "aku tak akan membuka gemboknya sekarang, tapi aku menitipkan kunci ini pada si jemari diseberang sana, suatu hari yang tepat ia yang akan membukakannya."
Ketika prinsip bergeming mengiringi derap hati dan raga, kadang hati memberontak. Kadang raga yang tak terima. Dan ketika prinsip membatasi perasaan suka, hati yang rasakan penat. Sekali lagi sinkronisasi hati dan raga yang menjadi pedoman.
(nela navida)
Di tengah malam ini, aku tersadari bahwa kurangnya rasa syukurku kepada-Nya amat berpengaruh terhadap hidupku. Aku ingin selalu hidup dengan syukur karena begitu nikmatnya hidup yang dijalani dengan syukur, dengan ikhlas. Let it flow, semuanya dijalani tanpa mengeluh biarpun membawa beban yang teramat berat sekalipun. Kodratnya aku diberi sebuah kertas dan aku harus menuliskan alur cerita hidupku dengan sebuah pena, jemarinya adalah tubuhku dan penanya adalah hatiku. Mereka berkolaborasi menggoreskan tinta sedikit demi sedikit, dan membuatnya terlihat rapi untuk dibaca, tapi pasti jemariku merasakan lelah jika menulis terlalu lama, dan kadang tinta dari penanya juga macet tak mau mengeluarkan diri. Sama seperti ragaku dan hatiku, ketika raga dan hati tak lagi mampu bersinkronisasi dengan baik, ragaku lelah hatiku penat. Suatu hari aku ketika aku berjalan-jalan disebuah pasar pedalaman, aku ditawari oleh seorang penjual, dia tawarkan sepasang gembok dan kuncinya, "untuk apa?" kutanyakan pertanyaan tersebut kepada si penjual. "untuk menyatukan pena dan jemarimu." penjual tersebut menjawabnya dengan jawaban yang begitu manis. Aku tersenyum, inilah yang kucari, gembok dan kunci untuk menyatukan pena dan jemariku. Prinsip untuk menyatukan raga dan hatiku. Terdengar begitu manis bukan? Kupilih dari penjual itu gembok L6093, kueratkan si gembok pada jemariku dan penaku. Sepertinya mereka menyatu ketika aku tersadar mengamatinya, waktu terus berjalan belum sampai jarum jam menunjuk angka 12 kulihat si pena tingkahnya sedikit aneh, ada sesuatu yang beda, kutelusuri apa yg terjadi pada si pena. Ternyata, ada sebuah jemari lain yang pena inginkan diseberang sana , sungguh tak terduga, tak cukup puaskah penaku terhadap jemariku sendiri? tak cukup puaskah hatiku terhadap ragaku sendiri? Ketika kutanya pada pena mengapa kau inginkan jemari diseberang sana, ia menjawabnya, "jemari itu juga bawa pena, dan aku suka." Kukira si pena bohong, dan pasti bohong kalau si pena jatuh cinta. Apa yang akan dikata gembok, jika ia tahu pena jatuh cinta? Akankah gembok mengambil kunci dan membuka ikatan kuatnya , ataukah gembok melempar jauh kunci itu dari si pena. Yang menentukan adalah si jemariku, dan baru saja jemariku membisikan kepadaku, "aku tak akan membuka gemboknya sekarang, tapi aku menitipkan kunci ini pada si jemari diseberang sana, suatu hari yang tepat ia yang akan membukakannya."
Ketika prinsip bergeming mengiringi derap hati dan raga, kadang hati memberontak. Kadang raga yang tak terima. Dan ketika prinsip membatasi perasaan suka, hati yang rasakan penat. Sekali lagi sinkronisasi hati dan raga yang menjadi pedoman.
(nela navida)