Tadi malam sepulang dari kantor, keponakan (Amanina) menyambutku dengan gembira dan langsung mengajakku bermain lilin di kamar. Amanina sedang sangat menyukai lilin entah mengapa. Kebetulan akhir pekan lalu, aku membeli dua buah lilin aromaterapi di IKEA dan kutunjukkan pada Amanina. Kata kakakku (bapak Amanina) ternyata dia sudah menunggu-nunggu kehadiranku karena ingin sekali menyalankan lilin yang kubeli hari Minggu lalu.
Hampir satu jam, kami (aku dan Amanina) menghabiskan waktu untuk bermain lilin. Amanina begitu girang ketika melihat lilin dinyalakan. Ia terlihat senang sekali ketika api lilin bergerak-gerak. Ia menyebut api lilin dengan sebutan kuping lilin. "Ate (panggilan Amanina kepada tantenya), kuping lilinnya gerak-gerak, bagus," kata Amanina sambil tertawa-tawa kecil. Senyum dan tawanya yang tulus sungguh melepas penat.
Biasanya di malam hari, Amanina menghabiskan waktu bermain dengan ibu dan bapaknya. Hari ini ibunya pergi ke luar kota untuk beberapa hari sehingga tentu ibu Amanina tidak bisa menemaninya bermain untuk sementara waktu. Ini memang bukan kali pertama Amanina ditinggal dinas luar kota oleh orangtuanya. Mungkin ia sudah terbiasa tetapi yang mungkin tidak akan pernah akan terbiasa adalah soal rindu.
Benar saja, Amanina tiba-tiba menangis kencang di tengah-tengah bermain bersamaku. Saat itu kita sudah selesai bermain dengan lilin. Kami berdua sedang bermain tulis-menulis. Ia minta digambarkan sepeda di atas huruf B. Setelah kugambarkan, dia lantas menangis kencang. Aku dan kakakku sedikit terheran apa penyebabnya. Kukira ia menangis karena aku menggambarkannya dengan gambar yang terlalu jelek atau dengan presisi yang kurang tepat. Bapak Amanina mencoba menenangkan, "Adik ingin apa? Jangan menangis. Kalau menangis tante dan bapak tidak tahu mau Amanina apa," ujar kakakku namun tidak juga menghentikan tangisnya. Aku sedikit curiga Nina merindukan ibunya. Terakhir, ketika ibu Amanina pergi ke Jerman, ia pernah juga menangis tanpa sebab persis seperti kemarin malam.
Memikirkan alasan Amanina menangis membuatku tiba-tiba teringat akan rasa sesaknya merindukan seseorang. Memoriku melayang pada dua puluh tahun silam, di kala ibu atau bapakku sering pergi dinas ke luar kota. Rindunya sungguh menyesakkan dada dan juga membuatku menangis tersedu-sedu sama seperti Amanina tadi malam. Sampai dengan usia remaja ketika aku bersekolah di sekolah asrama yang berada di luar kota, aku pun masih kerap menangis jika sedang merindukan orangtua dan keluarga. Aku yang sudah bertahun-tahun menjalani hubungan jarak jauh dengan significant otherku, masih kerap merasakan sesak bila sudah pada puncaknya rindu.
Tadi pagi ketika sedang bersiap-siap pergi ke kantor, kakakku menceritakan kelanjutan tangisan Amanina tadi malam. Telah terkonfirmasi bahwa Amanina menangis karena rindu ibunya. "Tadi malam akhirnya Nina video call dengan ibunya, dan gak mau dimatikan," cerita kakakku. Aku tertawa kecil. Memang, rindu adalah salah satu masalah umat manusia. Sebab setiap manusia tak akan pernah terbiasa dengan rindu, meskipun sudah berkali-kali mendera.