Sudah menuju hampir sebulan aku kembali ke rumah dan akan tinggal untuk jangka waktu yang lama. Setelah bekerja, nampaknya pulang ke rumah dan kampung halaman menjadi sebuah keistimewaan tersediri. Meskipun sebenarnya aku sudah merantau sudah sejak duduk di sekolah menengah pertama, namun pada masa ini banyak hal-hal yang aku rasa berbeda karena adanya financial independence. Misalnya, di waktu duduk di bangku sekolah, pulang adalah opsi satu-satunya karena jika tidak uang saku tidak akan diberikan. Ada sistem reward and punishment yang berlaku. Sekarang, hukuman tidak pulang sudah sirna, aku tidak lagi memerlukan bantuan finansial IMF (re: institute mother and father). Duduk perkaranya hanyalah soal kemauan untuk pulang.
Tahun lalu aku sempat tidak pulang kurang lebih sembilan bulan, waktu yang cukup untuk membawa satu tambahan anggota keluarga. Alasan yang aku coba berikan mengapa tidak pulang-pulang adalah COVID-19. Oh ya sebagai informasi, saat ini aku bekerja di Surabaya dan kampung halamanku adalah Solo. Jaraknya sekitar 250 km, relatif lebih dekat dibandikan jarak yang harus kutempuh di kala masih bekerja di Jakarta.
Kembali soal alasan tidak pulang, saat itu alasanku yang sebenarnya adalah tidak hanya persoalan pandemi melainkan ada rasa tidak ingin pulang. Setelah mengalami banyak kegagalan di tahun lalu (hint: persoalan manusia usia 25 ke atas ), aku cukup malu dan jengah untuk pulang. Aku malas menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari orang tua terkait rencanaku ke depan atau apapun yang saat itu belum bisa kujawab. Pulang kuanggap sebagai beban.
Di saat itulah jarak fisik sekaligus psikologis yang aku ciptakan kepada "rumah" semakin melebar. Aku pun menjadi semakin jarang berbincang dengan keluarga. Aku sendiri pun kadang menghindari berbincang melalui telepon. Aku mengurung diri. Defense mechanism yang kumiliki dalam situasi emosional nampaknya adalah menutup diri. Akhirnya ketika fase emosional sudah tergantikan oleh fase acceptance, sekaligus karena kantorku memperpanjang fase work from home, aku memutuskan untuk pulang.
Nyatanya setelah pulang, orang tua tak pernah menanyakan persoalan rencana masa depan yang kutakutkan. Entah karena mereka menangkap sinyal bahwa aku tak nyaman jika dihujani pertanyaan soal masa depan atau hal lainnya, tapi yang pasti hal yang kujadikan sebagai alasan untuk tidak pulang tidak benar-benar terjadi dan nyatanya hanya ilusi. Di saat itu pula, pada akhirnya aku benar-benar merasa kembali ke rumah dan banyak momen-momen nostalgia yang aku rasakan ketika being present at home. Misalnya, ketika mengamati sticker hello kitty yang kutempel 20 tahun yang lalu masih ada di pintu kamar orangtuaku, menyadarkan bahwa waktu berlalu dengan cepat. Di saat itu pula, aku tersadarkan bahwa orang tua pun sudah menua dua dekade.
Kembali ke rumah menyadarkanku pada kurangnya "rasa syukur" yang kumiliki karena masih memiliki bapak dan ibu yang secara fisik maupun emosi ada untuk anak-anaknya. Melihat punggung kedua orang tuaku setiap selepas ibadah bersama mengingatkanku pula berapa banyak hari yang kulewatkan tanpa mereka. Sementara, waktu kehidupan manusia ada batasnya. Aku tak bisa selamanya merasakan kedamaian yang aku rasakan seperti saat memandang punggung bapak dan ibu setelah selesai solat.
Kembali ke rumah memberikanku kesempatan untuk membangun kembali kedalaman koneksi dan komunikasi serta memberikan perhatian kepada bapak dan ibu yang harus kuakui tak banyak kulakukan. Hubungan anak dan orang tua yang kumiliki memang tidak dipenuhi kata-kata manis atau peluk cium. Aku tidak ingin menjadi terlalu ekstrem ke arah sana. Yang bisa kulakukan adalah mencoba memiliki waktu yang berkualitas bersama, seperti rutinitas pagi yang kini kumiliki setiap pukul setengah tujuh pagi: duduk di ruang tamu sambil menyantap kudapan (seringnya tahu goreng) yang dibeli ibu di warung tetangga.
Kedamaian ini sayangnya tidak akan selamanya.