Pernah Terjadi
By Nela Navida - October 21, 2012
Inilah yang namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui,
sore itu seusai rapat regenerasi OSIS 2011/2012 aku dan norma hendak menemui
pak bernad untuk menanyakan perihal apakah esok hari sudah boleh mengumumkan
calon-calon ketua osisnya atau belum. Sebelumnya memasuki ruang guru tempat di
mana pak bernad “ngetem” aku mengintip dari pintu luar.
“Gak ada, Nor,”
“Yaudah kita coba ke lembaga.”
“Oke...”
Di jalanan menuju lembaga, aku memperhatikan sekitar, graha
suwanto sangat ramai dipenuhi anak-anak putra yang rata-rata kelas 11 sedang
bermain skate board, perbincangan yang sebenarnya tidak penting terbincangkan
sekadar untuk selingan memfreshkan pikiran. Akhirnya setelah puluhan tapakan
kaki sampailah kita di lembaga. Kemudian kita cari diruangan tempat di mana
biasanya pak bernad “nongkrong”. Lagi-lagi tidak ada.
“Yah gak ada lagi... dimana ya, tadi sih ada laptopnya nor,
tapi orangnya gak ada.”
“Wah berarti belum pulang, kesana lagi yuk, eh tapi aku
mampir dulu ke mas ryan, mau nanya soal.”
Mas Ryan adalah pembina olimpiade geosciece dari UNDIP yang
tahun lalu mengajar norma untuk persiapan Olimpiade Science. Setelah menanyakan soal-soalnya akhirnya kita
kembali lagi mencari pak bernad. Hawa sore yang begitu familiar terasa begitu
pekat dan aku menikmatinya. Melangkahkan kaki menuju ruang guru, dan ketika
membuka pintunya batang hidung pak bernad tetap tidak ada yang ada batang
hidung pak dendi, pak hamzah, dan pak anto.
“Permisi pak, ada pak bernad gak?” tanya kami pada
bapak-bapak guru tersebut.
“Kalo disini tidak ada, mungkin solat, ditunggu dulu aja
kalo mau.”jawab pak dendi.
“Oke deh pak kami tunggu.” Jawab kami
Terlihat di salah satu meja kue kering lebaran castangle
yang menggoda perutku. Disebelahnya juga ada kue cookies coklat, tapi tidak
menggodaku. Dalam pikiranku castangle itu melambai-lambai dan tanpa malu-malu
aku bertanya pada pak hamzah.
“Pak, kue nya enak tuh pak.”
“Mau nih ambil aja.”
“Hehehe, oke deh pak.”
Langsung toples itu kubuka dengan seksama dan menikmati
setiap gigitan castangle itu. Ditengah-tengah prosesi makan-makan kue kering
bersama pak hamzah, pak dendi, dan norma, Pak Dendi tiba-tiba bertanya,”Nela,
mau nglanjutin kemana?” Dalam keadaan castangle sedang dicerna oleh salivaku
aku diam sejenak memberikan isyarat pada pak dendi, bentar pak lagi makan saya
akan menjawabnya seusai castanglenya tercerna norma dulu aja. Dan normapun
mentranslatekannya,”bentar pak dia lagi makan, saya dulu aja katanya yang suruh
jawab.” “Loh gak kok saya tanyanya Nela.”jawab pak dendi. “Oke, pak saya udah
selesai makannya. Saya pengen masuk kedokteran pak. Universitasnya di mana aja
akan tetapi saya pasang target di kedokteran UI.” Dan jawaban dari pak dendi pun juga terlihat
spontan sama seperti saya menjawab pertanyaan,”Kenapa harus UI? Kenapa gak
UNSOED? Kenapa harus di universitas-universitas seperti UI, UGM?” “gini pak,
saya pengen kuliah di Jakarta, saya mau sekalian sekolah nulis pak.” Belum
selesai penjelasankanku, pernyataan itu diinterupsi dan interupsi itu membuatku
sejak tadi hingga kini galau, “yang namanya kedokteran itu bakalan berkutat
dengan belajar-belajar dan belajar. Mana sempat kamu untuk seperti itu,
kedokteran UI itu setiap minggunya ada ujian dan juga kalau ada nilai yang
tidak lulus, kamu harus mengulang satu semester, bukan sks lagi kalau menurut
saya sih kalau kamu mau aktif dalam nulis dan lain-lain ya jangan ambil di UI
masih banyak universitas bagus lainnya, UIN atau mana..” sambil mendengarkannya
dengan seksama pak hamzah pun langsung menanggapinya.”teman saya di kedokteran
UI memang seperti itu, Nela. Tapi disisi lain, UI memang cocok bagi dokter yang
mau ambil spesialis, kalau kamu memang ingin di situ ya capailah.” Perbincangan
terasa semakin seru. Mungkin kalau ini debate, pak dendi menjadi pihak kontra
dan pak hamzah di pihak pro, saya sebagai bahan perdebatannya khususnya
cita-cita saya. Aku menanggapi , “Tapi
pak memang cita-cita saya kedokteran. Tapi di sisi lain....” belum selesai aku
berbicara, pak dendi sudah menanggapi lagi, mungkin ini untuk menguji seberapa
kuat aku untuk mempertahankan bahwa aku ingin di Kedokteran UI, tapi aku tetap
santai. “Jangan bicara mengenai sisi lain, kamu maunya kedokteran ya kedokteran
jangan berpikir yang lain dahulu, dan rata-rata nantinya kalau kamu kedokteran
UI selama 4 tahun kamu hanya akan berkutat dengan buku. Nah bagaimana itu.”
Aku mengutarakan bahwa, sebenarnya dimanapun aku sekolah
tidak apa-apa asalkan itu kedokteran, karena misi kehidupan saya adalah
bermanfaat bagi orang lain. Aku pengen yang namanya menjadi relawan di sebuah
tempat terpecil itu. Jadi asal aku bisa mewujudkan itu ya gapapa dimanapun aku
kuliah. Dan pak dendi pun menanggapinya dengan sebuah pertanyaan diplomatis,
“Seberapa besar ambisimu?” Pertanyaan yang tidak perlu dijawab aku pun hanya
diam, dan pak dendi pun langsung
mengatakan kembali, “kalau ambisimu memang itu ya kejarlah.” Dan aku pun
menjawab, “Oke pak saya akan mencapaikannya.” Dan sekarang berganti Norma
menjadi topik perdebatan dua guru tadi. Aku membatin, wah.. niatnya mencari pak
bernad dapetnya konsultasi gratis tentang universitas. Lumayan. Lanjut kembali
mengenai perdebatan dua guru tersebut, pak dendi dengan langsung mensugestkan
ke norma untuk ke Turki dan mengambil sastra turki. Aku perhatikan wajah norma menunjukan
penolakan suggestion itu, dan akhirnya berlajut ke pembahasan minatnya kemana,
dan norma mengatakan ingin geolologi ,atau manajemen bisnis. Tanggapan dari
kedua guru itu hampir sama yaitu “Pikirkan lagi jurusan itu.” Disampaikan bahwa
sebagai wanita pekerjaan macam di geologi atau manajemen akan sulit. Karena nantinya setelah berkeluarga pastilah
ilmu nya lama-lama akan hilang dan sia-sia. Aku yakin pembicaraan ini membuat
norma G4Lau ab1essszzz.... Belum terujung pembicaraan ini pak dendi pun undur
diri dan akan kembali kerumah. Pembicaraan masih berlanjut antara aku , norma ,
dan pak hamzah. Pak Hamzah mengatakan bahwa kunci dari merasakan ilmu yang
sebenarnya adalah dengan membagi ilmu tersebut, kami bersekokah SMA selama tiga
tahun akan menjadi sia-sia apabila sama sekali tidak mau mengulang materi nya
dengan cara menshare ke adik-adik kelas, ataupun orang-orang yang membutuhkan.
Itulah kunci dari manfaat ilmu, dimana kalian bisa membaginya ke orang lain ,
karena ilmu adalah kunci untuk mencapai kesuksesan. Sama seperti ketika
kebahagiaan orang tua kita ketika melihat kita menjadi orang yang besar. Tak
terasa sudah hampir setengah jam saya mengobrol dan sempat berdebat di ruang
guru, akhirnya kamipun mengakhiri dan
tidak lupa mengucapakan terimakasih atas sesi konsultasi dadakn tersebut,
walaupun menimbulkan beberapa kegalauan. Dan sore itu pun ditutup dengan
turunnya matahari ke barat dan kegalauan kami yang tak tau di mana ujungnya.
8 September 2011
0 comments