Refleksi: Tentang Bertumbuh – Bulan Oktober

By Nela Navida - October 31, 2020

Dengan segala hal yang terjadi di dalamnya, setahun silam aku memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengenali diri. Rasanya cukup kompleks. Ada perasaan marah, sedih, bahagia, serta emosi-emosi lain yang belum ada penamaan. Namun, kali ini yang berbeda adalah caraku menyikapinya. Atas kapasitas ini, aku memiliki lebih banyak ruang gerak untuk berkaca, melihat permasalahan secara lebih mendalam.

Tahun lalu, aku merasakan kegagalan yang cukup membuatku terpukul. Aku telah berencana untuk melanjutkan perkuliahan. Aku sudah mendapatkan surat penerimaan dari kampus yang sudah kuidam-idamkan, sudah berhasil mendapatkan beasiswanya. Namun, karena sebuah masalah akhirnya tak bisa berangkat hingga membuat rencana kehidupan yang lainnya ikut berantakan. First world problem. Marah dan sedihku cukup panjang untuk ukuran pribadi, mungkin ada sekitar dua minggu. Selebihnya, marah dan sedih kuredam, hanya kuungkapkan lewat tulisan yang kusimpan di aplikasi catatan di ponsel pintar.

Aku segera menyusun rencana selanjutnya dan aku juga memutuskan untuk mengambil libur satu bulan untuk berlibur sekaligus mengunjungi significant other di Turki. Dalam satu bulan itu, sekitar tiga minggu waktuku banyak kuhabiskan sendiri, untuk berpikir kembali tentang kehidupan apa yang aku ingin jalani ke depannya. Pikiranku sudah terlepas dari persoalan lini masa (timeline) yang runyam karena ada rencana yang gagal. Pandangan perlahan menjadi lebih jelas, tak berkabut.

Di Turki, aku menghabiskan beberapa waktu di ecological farm bernama Narkoy. Aku tinggal di sana selama kurang lebih dua minggu untuk melakukan pekerjaan sukarela (volunteer). Sudah lama namun entah sejak kapan, aku menggemari hidup di tengah orang asing. Di tengah keterasingan, aku merasa seperti kertas kosong. Aku dapat melihat hal-hal di kehidupan seperti anak kecil. Aku merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan mengamati sebanyak mungkin hal di sekitar. Di momen inilah, banyak sekali refleksi terjadi.

Berbincang dengan pemilik Narkoy, Nar Hoca, membuatku menyadari bahwa mengikuti idealisme dan mewujudkan idealisme yang muncul dari diri sendiri adalah opsi yang patut dipertimbangkan. Ia banyak bercerita tentang tentang hubungan manusia dengan alam serta mimpinya ketika muda untuk mendirikan ecological farm, idealismenya memberdayakan petani perempuan di Desa Kandira, tentang pandangannya akan dunia yang tidak seharusnya selalu tentang kekuatan dan uang. Atas cerita-ceritanya, aku menyadari akan kondisi bahwa manusia sesungguhnya diberikan kebebasan memilih jalan. 

Menyeruput teh hitam “Çaykur” sambil membaca buku atau berbincang dengan Robert (teman volunteer dari Perancis), menjadi momen rutin selepas bekerja. Di satu sore, aku mendengarkan cerita seru Robert tentang pengalamannya hitchhiking dari Paris sampai dengan Istanbul. Di sore yang lain, aku mendengarkan tentang rencana Robert untuk berkeliling dunia selama setahun dan bertukar pikiran tentang pandangan politik kami masing-masing. Sampai akhirnya di sore bersama yang terakhir, Robert memberikan kabar bahwa ia akan membatalkan rencana keliling dunianya dan kembali ke Paris, karena ingin berfokus pada aktivisme tentang lingkungan yang ia lebih yakin memberi manfaat. Perbincangan yang menyadarkan bahwa tak mengapa mengubah rencana dan keputusan ada di tangan kita masing-masing.


Robert, Kedi and Me

Robert, Me and Elif 


Aku juga banyak berbincang tentang kehidupan ketika bekerja dengan Teyzeler, padanan dalam Bahasa Indonesia adalah Bibi-Bibi. Perbincangan sederhana Kami berbicara tentang anaknya, bagaimana dia bisa bekerja di perkebunan itu, soal biaya hidup yang terus melonjak namun gaji tak ikut naik, dan juga tentang silsilah keluarganya. Perbincangan ini terjadi di tengah kebun sambil menyiangi rumput liar karena musim gugur sudah mulai tiba. Sebuah suasana yang tak familiar dan pembicaraan yang semenjana, tapi aku sungguh menikmatinya.






Di waktu yang lain, salah satu Teyze, berulang tahun. Kami menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari jadwal biasanya untuk merayakan ulang tahun bersama dan memberikannya sebuah kejutan. Perayaannya pun sederhana, di sebuah ruang berkumpul terbuka dengan dilengkapi satu buah kue tart. Seluruh pekerja dan juga manager berkumpul, rehat dari bekerja dan menikmati waktu kebersamaan itu. Rasa bahagia yang dibuat dan dihasilkan di momen itu turut membuatku merasa penuh (fulfilled).



Ruang Tengah Ecological Farm Narkoy


Aku merasa momen-momenku di Narkoy adalah waktu yang berharga. Aku disadarkan, bahwa kebahagiaan sederhana seperti ini sudah lama tak kunikmati. Aku terlalu banyak berpikir tentang materi, masa depan, kesuksesan dan pengakuan. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu menjalani kehidupan dengan template “orang sukses”, dengan prinsip forward-looking saving, menunda kebahagian saat ini untuk masa depan. Lewat momen-momen ini aku menyadari, hidup bukanlah sebuah cetakan, kita memiliki kontrol untuk memilih. Bahagia pun bisa didapatkan dari hal-hal sederhana seperti dengan berbicang dengan orang asing yang akhirnya tak kembali menjadi asing lewat cerita-ceritanya.

Lewat momen ini aku mendapatkan kesempatan untuk mengatur kembali pandanganku tentang kehidupan. Aku tak perlu lagi takut untuk memilih jalur yang berada di luar template hidup yang biasa ditempuh. Aku memilih untuk menjalani kehidupan seperti mengayuh sepeda. Berfokus pada kayuhanku, mengayuh dengan cepat jika memiliki tenaga, melambat jika lelah, sejenak melihat ke langit jika merasa tak tahu arah, menikmati setiap kayuhan serta jalan yang dilalui. Yang harus kuingat adalah, ini adalah perjalananku. Yang bisa aku kendalikan, aku kendalikan. Yang tidak bisa dikendaikan, akan ku ambil waktu untuk menerima, sampai aku bisa berpikir “what’s next” dengan otak yang rasional.

Harus diakui, aku cukup beruntung dan privileged untuk bisa mengalami momen ini dan memiliki daya untuk istirahat sejenak. Tentu tak semuanya dapat memiliki kesempatan. Dahulu aku tak benar-benar paham, selalu skeptis dan bertanya dalam hati apa sulitnya tumbuh dewasa. Nyatanya ketika menjalani, banyak realita-realita ataupun imaginary expectations yang membuat kita tertekan, merasa kosong, atau bahkan bersikap pahit (bitter). Refleksi ini menjadikan ku semakin yakin untuk terus bersikap baik kepada orang lain - menyediakan telinga untuk mendengarkan cerita, berbagi cerita kepada orang lain agar tak lagi merasa asing, ataupun sekadar berbagi senyum dan tawa. Sebab telinga, cerita, serta senyum dan tawa yang diberikan orang-orang kepadaku bulan Oktober tahun lalu, telah berperan banyak meredakan rasa tertekan ataupun kehampaan yang kala itu merundung.





  • Share:

You Might Also Like

0 comments