Dengan segala
hal yang terjadi di dalamnya, setahun silam aku memiliki kesempatan untuk
melakukan refleksi dan mengenali diri. Rasanya cukup kompleks. Ada perasaan marah, sedih, bahagia, serta emosi-emosi lain yang belum ada
penamaan. Namun, kali ini yang berbeda adalah caraku menyikapinya. Atas kapasitas ini, aku memiliki lebih banyak ruang gerak
untuk berkaca, melihat permasalahan secara lebih mendalam.
Tahun lalu,
aku merasakan kegagalan yang cukup membuatku terpukul. Aku telah berencana untuk
melanjutkan perkuliahan. Aku sudah mendapatkan surat penerimaan dari kampus
yang sudah kuidam-idamkan, sudah berhasil mendapatkan beasiswanya. Namun, karena sebuah masalah akhirnya
tak bisa berangkat hingga membuat rencana kehidupan yang lainnya ikut berantakan. First
world problem. Marah dan sedihku cukup panjang untuk ukuran pribadi, mungkin
ada sekitar dua minggu. Selebihnya, marah dan sedih kuredam, hanya kuungkapkan lewat
tulisan yang kusimpan di aplikasi catatan di ponsel pintar.
Aku segera
menyusun rencana selanjutnya dan aku juga memutuskan untuk mengambil libur satu
bulan untuk berlibur sekaligus mengunjungi significant other di Turki. Dalam
satu bulan itu, sekitar tiga minggu waktuku banyak kuhabiskan sendiri, untuk
berpikir kembali tentang kehidupan apa yang aku ingin jalani ke depannya. Pikiranku
sudah terlepas dari persoalan lini masa (timeline) yang runyam karena ada
rencana yang gagal. Pandangan perlahan menjadi lebih jelas, tak berkabut.
Di Turki, aku menghabiskan beberapa waktu di ecological farm bernama Narkoy. Aku tinggal di
sana selama kurang lebih dua minggu untuk melakukan pekerjaan sukarela (volunteer). Sudah
lama namun entah sejak kapan, aku menggemari hidup di tengah orang asing. Di tengah
keterasingan, aku merasa seperti kertas kosong. Aku dapat melihat hal-hal di kehidupan
seperti anak kecil. Aku merasa lebih bebas mengekspresikan diri dan mengamati sebanyak mungkin hal di sekitar. Di momen
inilah, banyak sekali refleksi terjadi.
Berbincang dengan pemilik Narkoy, Nar Hoca, membuatku menyadari bahwa mengikuti idealisme dan mewujudkan idealisme yang muncul dari diri sendiri adalah opsi yang patut dipertimbangkan. Ia banyak bercerita tentang tentang hubungan manusia dengan alam serta mimpinya ketika muda untuk mendirikan ecological farm, idealismenya memberdayakan petani perempuan di Desa Kandira, tentang pandangannya akan dunia yang tidak seharusnya selalu tentang kekuatan dan uang. Atas cerita-ceritanya, aku menyadari akan kondisi bahwa manusia sesungguhnya diberikan kebebasan memilih jalan.
Menyeruput teh hitam “Çaykur” sambil membaca buku atau berbincang dengan Robert (teman volunteer dari Perancis), menjadi momen rutin selepas bekerja. Di satu sore, aku mendengarkan cerita seru Robert tentang pengalamannya hitchhiking dari Paris sampai dengan Istanbul. Di sore yang lain, aku mendengarkan tentang rencana Robert untuk berkeliling dunia selama setahun dan bertukar pikiran tentang pandangan politik kami masing-masing. Sampai akhirnya di sore bersama yang terakhir, Robert memberikan kabar bahwa ia akan membatalkan rencana keliling dunianya dan kembali ke Paris, karena ingin berfokus pada aktivisme tentang lingkungan yang ia lebih yakin memberi manfaat. Perbincangan yang menyadarkan bahwa tak mengapa mengubah rencana dan keputusan ada di tangan kita masing-masing.
Robert, Kedi and Me |
Robert, Me and Elif |
Ruang Tengah Ecological Farm Narkoy |
Lewat momen
ini aku mendapatkan kesempatan untuk mengatur kembali pandanganku tentang kehidupan.
Aku tak perlu lagi takut untuk memilih jalur yang berada di luar template hidup
yang biasa ditempuh. Aku memilih untuk menjalani kehidupan seperti mengayuh
sepeda. Berfokus pada kayuhanku, mengayuh dengan cepat jika memiliki tenaga,
melambat jika lelah, sejenak melihat ke langit jika merasa tak tahu arah, menikmati
setiap kayuhan serta jalan yang dilalui. Yang harus kuingat adalah, ini adalah
perjalananku. Yang bisa aku kendalikan, aku kendalikan. Yang tidak bisa dikendaikan,
akan ku ambil waktu untuk menerima, sampai aku bisa berpikir “what’s next”
dengan otak yang rasional.
Harus diakui, aku cukup beruntung dan privileged untuk bisa mengalami momen ini dan memiliki daya untuk istirahat sejenak. Tentu tak semuanya dapat memiliki kesempatan. Dahulu aku tak benar-benar paham, selalu skeptis dan bertanya dalam hati apa sulitnya tumbuh dewasa. Nyatanya ketika menjalani, banyak realita-realita ataupun imaginary expectations yang membuat kita tertekan, merasa kosong, atau bahkan bersikap pahit (bitter). Refleksi ini menjadikan ku semakin yakin untuk terus bersikap baik kepada orang lain - menyediakan telinga untuk mendengarkan cerita, berbagi cerita kepada orang lain agar tak lagi merasa asing, ataupun sekadar berbagi senyum dan tawa. Sebab telinga, cerita, serta senyum dan tawa yang diberikan orang-orang kepadaku bulan Oktober tahun lalu, telah berperan banyak meredakan rasa tertekan ataupun kehampaan yang kala itu merundung.
0 comments